Background

Hak dan kewajiban Suami Istri Dalam Masa iddah (sebuah analisis dalam perfektif islam)


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
‘iddah bermakna perhitungan atau sesuatu yang di hitung. Secara bahasa mengandung pengertian hari – hari haidh atau hari – hari suci pada wanita. sedangkan ssecara istilah, ‘’ iddah mengandung arti masa menunggu arti masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceaian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berfikir bagi suami.[1]
Para ulama mendefinisikan ‘iddah sebagai nama waktu untuk menanti kesuciaan seorang istri yang ditinggal mati atau diceraikan oleh suami, yang sebelum habis masa itu dilarang untuk di nikahkan.[2]
Dengan redaksi yang agak panjang Ahmad Al-Ghundur memberikan definisi ‘iddah dengan, jenjang waktu yang di tentukan untuk menanti kesucian (kebersihan rahim) dari pengaruh hubungan suami istri setelah sang istri di ceraikan atau ditinggal mati suami, yaitu waktu yang biasa dipikul oleh istri setelah putus ikatan pernikahan karena dikhawatirkan terjadi kesyubhatan dalam pengaruh hubungan kelamin atau yang sesamanya seperti bermesra-mesraan(dengan pria lain jika ia segera menikah).[3]
Menurut Sayuti Thalib, pengertian kata ‘iddah daat di lihat dari dua sudut pandang :
Pertama, di lihat dari segi kemungkinan keutuhan perkawinan yang telah ada, suami dapat rujuk kepada istrinya.  Dengan demikan, kata ‘iddah dimaksudkan sebagai suatu istilah hukum yang mempunyai arti tenggang waktu sesudah jatuh talak, dalam waktu mana pihak suami dapat rujuk kepada istrinya.
Kedua, dengan demikian dilihat dari segi istri, masa ’iddah itu akan berarti sebagai suatu tenggang waktu dalam waktu mana istri belum dapat melangsungkan perkawinan dengan pihak laki-laki lain.[4]
Penting di catat, masa ‘iddah ini hanya berlaku bagi yang telah di dukhul. Sedangkan bagi isrti yang belum yang di dukhul (qabla al-dukhul) dan putusnya bukan karena kematian suami maka tidak berlaku baginya masa ‘iddah.
Menyankut ayat-ayat tentang ‘iddah ini dapat dilihat firman Allah SWT. Yang artinya :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka ebelum kamu mencamprinya, maka sekali-kali tidak wjib atas mereka “iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.(QS. Al-ahzab/33:49).
Wanita-wanita yang talak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali (quru’) (QS. Al-baqarah/2:228).
Berkenaan masalah quru’ terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih. Wanita ygtidak yang mengandung dan masih termasuk dalam kategori orang-orang maih haid, masa ‘iddahnya di atur menurut aqra’. Dalam hal ini terdapat perbedaan di kalangan ulama malikiyah dan ulama Syafi’iyyah. Bagi ulama Malikiyah makna salasata quru’ adalah tiga kali haid, sedangkan Syafi’i memahaminya tiga kali suci. Kendati demikian jika di konvesi ke dalam hitungan hari sebenarnya hampir sama yaitu lebih kurang 3 bulan. Bagi wanita yang belum atau tidak haid lagi, masa ‘iddahnya selama tiga bulan.
Selanjutnya mengenai ‘iddah putusnya pekawinan dengan sebab kematian terdapat pada ayat berikut ini:
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri tesebut) menagguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah/2:234).
Berangkat dari ayat-ayat di atas, menurut kalangan Fuqaha ‘iddah itu terbagi ke dalam dua kategori utama. Pertama, ‘iddah yang terjadi karena wanita tersebut ditinggal mati oleh suaminya. Kedua, ‘iddah yang terjadi bukan karena ditinggal mati suami. Kondisi orang yang ditinggal mati ini adakalanya wanita tersebut dalam keandaan mengandung dan adakalanya sedang kosong (bara’aturahmina). Apabila dalam keadaan mengandung, masa ‘iddahnya adalah a menungu sampai kandungannya lahir.Apabila dalam keadaan tidak mengandung, dalam pengertian tidak ada benih di dalamnya, masa ‘iddahnya 4 bulan sepuluh hari.
Agaknya yang menjadi perdebatan di kalangan ahli fikih adalah menyangkut ‘iddah wanita yang hamil yang di tinggal mati oleh suaminya. Baginya berlaku dua masa ‘iddah; ‘iddah melahirkan dan ‘iddah wafat. Jumhur ulama fikih menyatakan masa ‘iddahnya adalah sampai ia melahirka, sekalian kelahiran itu belum mencapai waktu empat bulan epuluh hari. Bahkan menurut mereka, sekalipun wanita tersebut melahirkan beberapa saat kematian suami. Alasan-nya adalah firman Allah surah ath- talaq ayat 4 di atas.[5]
Akan tetapi menurut Ali Ibn Abi Thalib dan Ibn Abbas, ‘iddah yang pakai adalah yang terlama. Jika wanita tersebut  melahirkan sebelum masa empat bulan sepuluh hari, maka ‘iddahnya tetap empat bulan sepuluh hari, jika setelah lewat empat bulan sepuluh hari, tetapi wanita tersebut belum juga melahirkan maka ‘iddahnya sampai ia melahirkan.Dalil yang mereka gunakan adalah surah al-baqarah/2:234.[6]
Dengan asumsi bahwa dewasa ini khususnya masyarakat awam terkadang yang menyangkut urusan syariat dalam hal ini mengenai bagaimana hak dan kewajiban seorang suami terhadap istrinya dan begitupun sebaliknya pada saat telah jatuhnya talak (masa iddah) mereka hanya berlandaskan pada kebiasaan-kebiasaan yang kemudian berkembang di lingkungan domisili mereka. Padahal sama kita pahami bahwa dalam hal semacam ini ajaran (islam) kita telah menguraikannya secara jelas dan bahkan dalam UU No. 1 1974 tentang perkawinan juga telah dijelaskan tentang hal tersebut. Memang tidak ada salahnya ketika kita juga mempergunakan adat (kebiasaan) yang selama ini berkembang di dalam masyarakat akan tetapi alangkah sempurnanya pemahaman kita ketika kita mampu mensingkrongkan antara hukum islam, hukum perdata dan hukum adat. Berangkat dari dasar tersebut sehingga kami berinisiatif untuk menyuguhkan makalah ini yang memuat  penjelasan “Iddah dalam Perspektif Islam” (Hak dan kewajiban Suami Istri dalam Masa Iddah).
B.     Rumusan Masalah
Adapaun yang menjadi rumusan masalah pada makalah ini ialah Bagaimanakah hak dan kewajiban suami istri dalam masa iddah?










BAB II
PEMBAHASAN
Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam masa Iddah.
            Penting untuk diketahui bahwa perceraian atau talak raj’i (talak 1 & 2) belumlah memutuskan perkawinan dalam makna yang sesungguhnya. oleh sebab itu, wanita yang telah di talak suaminya, selama berada pada masa iddah tetap dipandang sebagai istri dari suaminya dan suami dari istrinya yang memiliki hak dan kewajiban kendatipun tidak penuh lagi.
            Menurut hukum islam kewajiban memberikan nafkah kepada bekas istri disebutkan dalam al-Qur’an surah al-Thalaq ayat (1) yang artinya:
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah. Jangan kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang, itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.
            Menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy seorang ulama besar dalam bidang tafsir dan hadis, ayat inilah yang menjadi pegangan ulama dalam membagi talak menjadi talak sunnah dan bid’ah. Talak sunnah (sunny) adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. Sedangkan yang dimaksud talak bid’ah (bi’di)  adalah talak yang dilarang yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
            Mencermati ayat di atas, ada beberapa hal yang menarik untuk dicatat.
1.      Bahwa menalak istri hendaklah dalam keadaan si istri suci dan belum dicampuri, ini berarti talak sunni. Sedangkan menjatuhkan talak dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci tapi telah dijima’ (disetubuhi) maka hukumnya haram atau dilarang.
2.      Suami wajib memberikan tempat tinggal kepada istri yang ditalak, selama mereka masih dalam iddah dan tidak boleh mereka keluar/pindah ketempat lain kecuali mereka bersikap yang tidak baik.
3.      Tempat tinggal tidak wajib diberikan kepada istri yang tidak dapat rujuk lagi.
4.      Tidak boleh dilkukan sebagai jalan keluar dari pergaulan suami istri yang tidak aman.
Selanjutnya dalam surah Ath-Talaq ayat 6 disebutkan:
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka dan jika mereka istri-istri yang sudah ditalak itu sedang hamil maka berikanlah kepada mereka nafkah hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarakanlah diantara segala sesuatu, dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu untuknya.
Demikianlah hukum islam telah islam telah menentukan dengan tegas tentang istri yang ditalak suaminya. Ayat ini merupakan dasar bagi suami untuk memberikan tempat tinggal bagi istri-istri yang ditalaknya, bahkan ayat ini memberikan pengertian yang tegas tentang kewajiban lainnya yang harus dipenuhi oleh suami seperti memberikan biaya untuk menyusukan anak-anaknya.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan kepada bekas istri (pasal 41 UU No. 1 1974). Ketentuan ini dimaksud agar bekas istri yang telah diceraikan suaminya jangan sampai menderita karena tidak mampu memenuhi kebutuhan kehidupannya. Dengan demikian apabila terjadi perceraian, suami mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi kepada bekas istrinya, kewajiban-kewajiban tersebut ialah:

1.      Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dhukhul;
2.      Memberikan nafkah kepada bekas istri selama masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nasyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
3.      Melunasi mahar yang masih terutang dan apababila perkawinan itu qabla al dhukul mahar dibayar setengahnya;
4.      Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.[7]
Bagi pegawai negeri sipil penentuan kewajiban untuk memberikan biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri, diatur tersendiri dalam PP No. 10 tahun 1983 yang telah diubah dengan PP No. 45 Tahun 1990 dimana pasal 8 ayat 1 menyebutkan “Apabila perceraian terjadi diatas kehendak pegawai negeri sipil saja, maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk kehidupan bekas istri dan anak-anaknya”
Untuk hak dan kewajiban seorang istri yang berada dalam masa iddah, khususnya talak raj’i diantarannya ialah:
1.      Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain, baik secara terang-terangan maupun dengan cara sindiran. Namun bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dikecualikan bahwa ia boleh dipinang dengan sindiran.
2.      Dilarang keluar rumah menurut jumhur ulama fikih selain mazhab Syafi’i apabila tidak ada keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Alasan yang digunakan ialah surah ath-Talaq ayat 1 yang artinya “janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan pekerjaan yang keji dan terang. Larangan ini jg dikuatkan dengan beberapa hadis Rasululullah SAW.[8]
3.      Berhak untuk tetap tinggal dirumah suaminya selama menjalani masa iddah.
4.      Wanita yang derada dalam iddah talak raj’i terlebih lagi yang sedang hamil, berhak mendapatkan nafkah lahir dari suaminya. Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya tenru tidak lagi mendapatkan apa-apa kecuali harta waris, namun berhak untuk tetap tinggal di rumah suaminya sampai berakhirnya masa iddah.
5.      Wanita tersebut wajib berihdad[9] (iddah wanita yang ditinggal mati suaminya) yaitu tidak mempergunakan alat-alat kosmetik untuk mempercantik diri selama empt bulan sepuluh hari.
6.      Wanita yang berada dalam iddah talak raj’i ia berhak mendapatkan harta waris dari suaminya yang wafat, sedangkan wanita yang telah ditalak tiga tidak berhak mendapatkanya.
Sedangkan menurut Muhammad  Baqir Al-habsyi ada empat hak perempuan yang berada  dalam masa iddah:
1.      Perempuan dalam masa iddah akibat talak raj’i berhak menerima tempat tinggal dan nafkah,[10] mengingat bahwa statusnya masih sebagai istri yang sah dan karenanya tetap telah memiliki hak-hak sebagai istri. Kecuali ia dianggap nusyuz (melakukan hal-hal yang dianggap “durhaka”, yakni melanggar kewajiban taat kepada suaminya) maka ia tidak berhak apa-apa.
2.      Perempuan dalam masa iddah akibat talak ba’in (yakni yang tidak mungkin rujuk) apabila ia dalam keadaan mengandung, berhak juga atas tempat tinggal dan nafkah seperti di atas.

















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Adapun yang menjadi kewajiban seorang suami jdalam masa iddah (talak raj’i) yaitu memberikan tempat tinggal dan nafkah kepada istrinya. Dan jika dia punya seorang anak maka dia juga berkewajiban membiayai anaknya. Sedangkan yang menjadi hak dan kewajiban seprang istri dalam masa iddah ialah:
1.      Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain, baik secara terang-terangan maupun dengan cara sindiran. Namun bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dikecualikan bahwa ia boleh dipinang dengan sindiran.
2.      Dilarang keluar rumah menurut jumhur ulama fikih selain mazhab Syafi’i apabila tidak ada keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Alasan yang digunakan ialah surah ath-Talaq ayat 1 yang artinya “janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan pekerjaan yang keji dan terang. Larangan ini jg dikuatkan dengan beberapa hadis Rasululullah SAW.
3.      Berhak untuk tetap tinggal dirumah suaminya selama menjalani masa iddah.
4.      Wanita yang derada dalam iddah talak raj’i terlebih lagi yang sedang hamil, berhak mendapatkan nafkah lahir dari suaminya. Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya tenru tidak lagi mendapatkan apa-apa kecuali harta waris, namun berhak untuk tetap tinggal di rumah suaminya sampai berakhirnya masa iddah.
5.      Wanita tersebut wajib berihdad (iddah wanita yang ditinggal mati suaminya) yaitu tidak mempergunakan alat-alat kosmetik untuk mempercantik diri selama empt bulan sepuluh hari.
6.      Wanita yang berada dalam iddah talak raj’i ia berhak mendapatkan harta waris dari suaminya yang wafat, sedangkan wanita yang telah ditalak tiga tidak berhak mendapatkanya.
B.     Saran
Kami sadar bahwa apa yang ada ditangan pembaca saat ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami senantiasa mengharapkan uluran tangan yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makala ini dikemudian hari. Kami hanya berharap bahwa makala ini mampu menjadi sebuah referensi yang ideal dalam hal pengkajian tentang Iddah Dalam Perspektif Islam (Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Masa Idda) . Terkhusus dalam menyelesaikan dilema-dilema yang sering muncul dalam kalangan masyarakat awam mengenai masalah iddah khususnya mengenai hak dan kewajiban suami istri dalam masa iddah.
Mengingat bahwa penyelesaian masalah yang belum ada dasar hukumnya bagi masyarakat awam  merupakan hal yang lazim di telinga mereka, tentunya untuk mengamalkannya memerlukan pemahaman yang cukup memadai agar dalam pelaksanaannya kita tidak lagi mengalami kekeliruan, karena apabila kita keliru dalam menafsirkan, niscaya dalam pelaksanakaannya tidak sempurnah. Mudah-mudahan dengan adanya makalah ini dapat memudahkan kita, khususnya dalam proses pengamalannya.
Mudah-mudahan Allah Swt. Senantiasa meridhai segala aktivitas kita dan dapat bernilai ibadah di sisisnya. Amin
Billahi Taufik Walhidayah
Assalamu Alaikum Wr. Wb. 



DAFTAR PUSTAKA
Doktor mustofa Diil Bigha, Fiqih Syafii (Terjemah St Tahdziib), (CV bintang    Pelajar, 1978).
Dr. H. Amiur nuruddin & Drs. Azhari Akmal Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia (studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006).
Drs. Murni Djamal (Dirjen Pembinaan Kelembagaan agama Islam Depag), Ilmu Fiqig jilid II cet. II, (Jakarta: Proyek Pembinaan PTA IAIN, 1984).
H. Sulaiman Rasyid, fiqih Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1954).
Mohd. Idris Ramulyo, hukum perkawinan islam: Suatu Analisis Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996).
Muhammad sayyid Sabiq, fiqih sunnah Jilid III, (Jakarta: Pena pundi Aksara, 2009).
Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam al- Kamil, (Jakarta: Darus Sunnah, 2011).
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1983).



                                                              










[1] Abdul Aziz Dahlan (ed) Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid II, (Jakarta: Icktiar Baru Van Hoeve,   1996), hlm. 637.
[2] Abd al-Rahman al-Jaziri, Al-fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-fikr, 1996)
[3] Ahmad Al-Ghundur, al-Thalaq al-syari’at al-Islamiyyah wal al-Qanun, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1997), h. 291.
[4] Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Berlaku bagi Umat Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 122.
[5] Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz II, (Semarang: Usaha Keluarga, t.t) h. 72. Lihat juga A. Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), h. 313.
[6] Abdul Aziz Dahlan, op.cit, h. 639.
[7] Dr. H. Amiur Nuruddin, MA. dan Drs. Azhari Akmal Tarigan, M. Ag., Hukum Perdata Islam di indonesia, studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 samapai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 39.
[8] Menurut abdurrahman I do’i, wanita yang sedang dalam mas iddah juga dilarang keluar rumah baik pada siang hari terlebih lagi pada malam hari. Ulama Hanafi mengatakan, perempuan yang menjalani masa iddah karena ditalak satu, talak dua atau talak tiga tidak diperbolehkan keluar rumah baik siang maupun malam hari. Tentu saja berbeda bagi seorang janda yang telah resmi bercerai. Sedangkan menurut Ulama Hambali, membolehkan wanita keluar rumah pada siang hari, baik dia dalam iddah karena cerai ataupun ditinggal amati suaminya. Semuanya ini diberlakukan tidak saja untuk keselamatan wanita tersebut untuk menghindari fitnah. Dr. H. Amiur Nuruddin, MA. dan Drs. Azhari Akmal Tarigan, M. Ag., Hukum Perdata Islam di indonesia, studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 samapai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 250. Lihat juga Doktor Mustofa Diibul Bigha, Fiqih Syafii (Terjemahan St Tahdziib), (CV Bintang Pelajar, 1978), h. 414.
[9] Ihdad berasal dari kata ahadda dan terkadang bisa juga disebut al-hidad yang diambil dari kata hadda. Secara etimologi bermakna al-man’u (larangan). Dalam makna istilah ihdad bermakna meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata dan minyak wangi. Ada juga yang mendefenisikannya dengan menahan diri dari mempercantik diri atau bersolek. Lihat, wahbah al-zuhaili, op.cit, h. 659. Lihat juga masalah yang cukup menarik yang menyangkut ihdad wanita karir dalam, Hafiz Anshary, “Ihdad wanita karir”, dalam, Problematika Hukum Islam kontemporer, Chuzaimah T Yanggo dan hafiz Anshary (ed), (Jakarta: Firdaus, 2002), h. 11-34.
[10] Doktor Mustofa Diibul Bigha, Fiqih Syafii (Terjemahan St Tahdziib), (CV Bintang Pelajar, 1978), h. 413.

Categories: Share

Leave a Reply